Berikut penjelasan mendalam mengenai kondisi di mana seorang psikolog atau psikiater yang yakin bahwa setiap individu pasti memiliki “mental illness” – sekaligus mengupas kenapa pandangan semacam itu bisa berkembang:
Gambaran Umum Fenomena
Beberapa psikiater atau psikolog terkadang menunjukkan keyakinan kuat bahwa hampir semua orang yang ditemui memiliki gangguan jiwa. Fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk overpathologisasi—yakni cenderung melihat perilaku atau emosi normal sebagai tanda gangguan mental.
Tren ini bahkan dibahas dalam tonggak kritis, seperti buku-buku oleh O’Sullivan, Timimi, Santhouse, yang menyoroti bahwa DSM (manual diagnosa) jadi terlalu luas dan banyak digunakan untuk menjadikan pengalaman manusia yang wajar sebagai kondisi patologi.
Mengapa ini berbahaya? Sebab psikiater/psikolog memiliki otoritas profesional—penilaian berlebihan bisa menstigma atau memanipulasi pasien menjadi “sakit jiwa”, padahal mungkin tidak.
2. Apa Penyakit Jiwa yang Paling Sering Dituding “Menyeluruh”?
Jika seseorang meyakini semua orang memiliki penyakit mental, kemungkinan besar ia sedang menunjukkan pola atau gangguan pribadinya sendiri, bukan orang lain. Beberapa kondisi yang mendasari ini:
a. Projective identification / Projection
Merupakan mekanisme pertahanan psikoanalitik klasik di mana perasaan, pikiran atau ketakutan sendiri dialihkan ke orang lain. Beberapa gangguan kepribadian yang sering menggunakan proyeksi meliputi:
Narcissistic Personality Disorder (NPD) – Sering membalikkan kritik ke orang lain, menganggap orang lain iri atau mempunyai kelemahan yang sebenarnya miliknya sendiri .
Borderline Personality Disorder (BPD) – Emosi intens, takut ditinggalkan, lalu menuduh orang lain yang tidak punya niatan seperti itu .
Paranoid, histrionic, antisocial personality disorders – Semua bisa menampilkan bentuk proyeksi seperti mencurigai, menyalahkan, atau menuduh perilaku negatif pada orang lain .
Contoh: Individu dengan NPD bisa menuduh orang lain “terlalu dramatis” padahal mereka-lah yang dramatis. Mereka mencari-cari cacat pada orang lain sebagai cara mempertahankan citra diri.
b. Psychosis atau Delusi
Dalam gangguan psikotik seperti skizofrenia atau gangguan bipolar, bisa muncul delusi—keyakinan mantap yang tidak rasional, termasuk delusi sosiodelusi di mana orang yakin semua orang di sekitarnya “gila” atau punya niat jahat . Contohnya, seseorang bisa yakin bahwa semua orang di lingkungan sedang diam-diam merencanakan sesuatu padahal tidak.
3. Mengapa Seorang Psikiater/Psikolog Bisa “Melihat” Mental Illness di Mana-mana?
Penilaian berlebihan ini bisa dipicu oleh beberapa faktor:
A. Overpathologisasi & DSM
Manual DSM memuat kriteria gejala yang bisa dianggap terlalu longgar dan mudah melebar. Hal ini mendorong psikiater untuk menstigma emosi normal seperti kesedihan, kecemasan, ketidakpuasan hidup sebagai “gangguan jiwa” .
B. Bias dan Kepribadian Profesional
Menurut penelitian, ada ‘bias diagnostik’ yang dipengaruhi oleh struktur, sekolah kedokteran, pengalaman, dan frustrasi dokter terhadap pasien yang sulit ditangani. Contohnya psikiater bisa memberi label gangguan kepribadian hanya karena pasien sulit dihadapi .
C. Peran Sosial & Legal
Kadang diagnosis dipakai sebagai alat komunikasi profesional, atau untuk mempermudah pengurusan asuransi/layanan kesehatan/juridis .
D. Projective mechanism pada profesional
Psikiater dengan gangguan seperti NPD atau BPD bisa secara tak sadar memproyeksikan keraguan atau kritik kepada orang lain; ini bisa membuat mereka yakin semua orang “bermasalah”.
4. Resiko dari Pandangan “Semua Orang Sakit”
1. Stigma & Labeling
Menjadi "sakit jiwa" adalah stigma. Label seperti itu bisa menurunkan kepercayaan diri seseorang dan membuat mereka merasa abnormal.
2. Overdiagnosis & overtreatment
Terlalu banyak memberi diagnosis mendatangkan risiko perawatan yang tidak perlu, termasuk efek samping obat, biaya, dsb .
3. Penghilangan nuansa & konteks
Manusia beragam; tidak semua gejala lelah, stres, rasa sedih harus diagihkan sebagai “gangguan mental”.
4. Etika
Mengklasifikasi orang yang tidak meminta evaluasi menyalahi prinsip profesional: diagnosis harus berdasarkan wawancara, observasi, kriteria, dan persetujuan pasien
5. Bagaimana Seharusnya Diagnosis Dilakukan?
Menurut DSM-5 dan panduan etis:
1. Kriteria DSM harus dipenuhi berdasarkan gejala signifikan: deviasi, kesusahan, disfungsional, atau berbahaya
2. Case formulation: mempertimbangkan faktor biopsikososial untuk memahami latar masalah .
3. Rule out kondisi lain: memastikan gejala bukan akibat kondisi medis, obat, atau situasi normal
4. Intervensi tepat: diagnosis harus digabungkan dengan rencana personal dan disepakati pasien.
6. Strategi Menghindari Overpathologisasi
1. Waspadai mekanisme proyeksi: refleksi diri lewat supervisi, debriefing, atau terapi bagi penyedia layanan.
2. Gunakan model biopsikososial: jangan hanya symptom check – pahami konteks, budaya, usia, dsb.
3. Terapkan kriteria ketat DSM: fokus pada gangguan klinis nyata, bukan masalah wajar.
4. Etika diagnosis: hindari unsolicited diagnosis; tahan diri memberi label tanpa izin atau evaluasi penuh .
5. Kontrol profesional & supervisi: diskusi kasus sulit dalam tim interdisipliner guna mengurangi bias .
7. Contoh Kasus Hipotetis
Dr. A, psikiater senior dengan karakter narsistik, sering menstigma pasien/pasien yang “kurang progres” sebagai "borderline" atau "narsistik" untuk menjaga kontrol dan citra diri. Mereka menggeneralisasi pasien yang emosional atau emosional rendah sebagai penyakit kepribadian.
Mereka berpotensi meciptakan atmosfer terapeutik yang menakutkan—pasien jadi takut mengalami stigma atau "dianiaya" oleh diagnosis padahal hanya stres wajar.
8. Kesimpulan
Mempercayai bahwa semua orang menderita mental illness bisa jadi tanda bahwa penyedia layanan mengalami overpathologisasi, bias diagnostik, atau mekanisme proyeksi—bukan indikasi semua berteman dengan gangguan mental.
Diagnosis sehat seharusnya dilakukan berdasarkan kriteria klinis yang ketat, didukung observasi, dan berdasarkan konfirmasi pasien.
Profesional wajib terus melakukan refleksi diri, supervisi, dan pelatihan, agar tidak menggeneralisasi kondisi manusia dan menjaga etika serta efektifitas intervensi.
Pemahaman Akhir
Penilaian berlebihan karya profesional bisa berdampak serius. Meski penting mengenal gangguan mental, harus ada keseimbangan: tidak setiap kesedihan, kecemasan, atau kekesalan layak disebut “mental illness”. Diagnosis butuh:
1. Keseriusan gejala (deviance, distress, dysfungsional, danger).
2. Formulasi kasus menyeluruh: biopsikososial + rule out.
3. Etika & persetujuan pasien.
4. Pengawasan dan refleksi: kurangi bias personal seperti proyeksi.
Ketika psikiater yakin semua orang "sakit", kemungkinan 'Mindset/Pola pikir/Mind Maping' yang ia pakai—yaitu kepercayaannya—justru adalah yang paling perlu diperiksa.
Fenomena ini akan lebih berbahaya jika Si Psikiater ini adalah seorang pejabat pemerintahan seperti anggota partai politik, anggota polisi, anggota TNI, kejaksaan atau anggota/aparat suatu pemerintahan yang memiliki kekuasaan internal di Suatu Negara.
Solusi pencegahan dan penyembuhan bagi psikiater atau psikolog yang mengalami fenomena keyakinan bahwa semua orang memiliki gangguan mental:
I. PENDAHULUAN
Fenomena seorang psikiater atau psikolog yang merasa semua orang pasti memiliki gangguan mental bukanlah hal sepele. Ini bukan hanya soal interpretasi klinis yang keliru, tetapi bisa menjadi indikasi gangguan profesionalitas atau bahkan tanda adanya gangguan psikologis internal, seperti mekanisme proyeksi, narsistik, atau burn-out.
Untuk mencegah dan menyembuhkan hal ini, penting untuk meninjau dari berbagai aspek: personal (pribadi), profesional, etis, dan sistemik.
II. PENYEBAB YANG PERLU DIINTERVENSI
Sebelum masuk ke solusi, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang biasanya melatari fenomena ini:
1. Burnout atau kelelahan emosional dari pekerjaan yang intens.
2. Overidentifikasi dengan pasien – kesulitan memisahkan diri pribadi dan profesional.
3. Kebutuhan kontrol dan keyakinan superioritas (indikasi narsistik atau perfeksionisme).
4. Mekanisme proyeksi psikodinamik – menyalahkan orang lain atas konflik internalnya.
5. Kurangnya supervisi klinis atau refleksi diri.
6. Ketiadaan pelatihan etis dan empati yang berkelanjutan.
III. SOLUSI PENCEGAHAN
1. Pelatihan Etika dan Kesadaran Diagnostik
Fokus pelatihan ulang pada prinsip etik diagnosis: diagnosis harus dilakukan dengan kriteria obyektif, bukan persepsi pribadi.
Ajarkan pendekatan fenomenologis dan empatik untuk melihat manusia secara utuh, bukan hanya melalui “lensa gangguan”.
Dorong pemahaman bahwa tidak semua stres, kesedihan, atau konflik = gangguan mental.
2. Supervisi Klinis Rutin
Terapis atau psikiater pun membutuhkan terapi atau supervisi profesional secara rutin.
Dalam supervisi, profesional diajak untuk:
Meninjau ulang kasus sulit.
Melihat kemungkinan adanya bias pribadi atau transferensi.
Mendiskusikan kapan seseorang benar-benar memenuhi kriteria diagnosis.
Supervisi ini harus dilakukan dalam ruang aman dan netral—bukan untuk menghakimi, tapi membantu refleksi diri.
3. Self-Reflection dan Insight
Terapis perlu melatih introspeksi dan metakognisi, agar bisa membedakan mana yang berasal dari pengalaman pribadi, dan mana yang benar-benar bersumber dari pasien.
Misalnya:
“Apakah saya merasa tidak nyaman karena pasien ini mengingatkan saya pada trauma saya sendiri?”
“Apakah saya cepat menyimpulkan karena ingin segera ‘menangani’ sesuatu agar merasa berguna?”
4. Pendidikan Psikopatologi yang Seimbang
Kurikulum pendidikan psikiatri dan psikologi harus menyeimbangkan antara pengenalan gangguan dengan pengenalan terhadap dinamika sehat manusia.
Pelatihan tidak hanya menekankan “penyakit”, tapi juga:
Karakter sehat
Resiliensi psikologis
Variasi emosi wajar dalam kehidupan sehari-hari
5. Pembatasan Peran dan Etika Profesional
Terapis/psikiater tidak seharusnya mendiagnosis teman, keluarga, atau kolega secara informal.
Harus dibiasakan untuk menahan dorongan diagnosis cepat, apalagi tanpa konseling langsung, observasi klinis, atau persetujuan pasien.
IV. SOLUSI PENYEMBUHAN (BILA SUDAH TERJADI)
Jika seseorang sudah menunjukkan gejala keyakinan obsesif bahwa semua orang memiliki gangguan mental, maka langkah penyembuhannya harus meliputi beberapa intervensi:
1. Psikoterapi Pribadi untuk Profesional
Terapis juga butuh terapi.
Psikoterapi insight-oriented (seperti terapi psikoanalitik, psikodinamik, atau CBT) membantu individu menyadari:
Apakah persepsinya terhadap orang lain dipengaruhi oleh trauma, pengalaman masa kecil, atau konflik kepribadian.
Adakah kecenderungan narsistik, kontrol, atau superioritas yang memengaruhi pandangan profesionalnya?
Contoh terapi yang sesuai:
Terapi Psikodinamik → untuk memahami proyeksi atau konflik batin.
CBT → untuk mengubah skema berpikir otomatis bahwa “setiap orang itu rusak”.
Schema Therapy → bila berkaitan dengan gangguan kepribadian.
2. Reframing Pemahaman Klinis
Terapis diajak untuk melihat manusia secara utuh, bukan dari label.
Ini bisa dilakukan melalui pendekatan seperti:
Humanistic Therapy – fokus pada kekuatan dan potensi klien.
Narrative Therapy – mengajak individu menyusun ulang kisah hidup dengan pendekatan non-patologis.
3. Mengikuti Peer Group Diskusi Profesional
Bergabung dalam komunitas profesional untuk diskusi kasus, refleksi etis, dan saling mengingatkan praktik yang sehat.
Contoh: forum psikologi etik, kelompok studi kasus, pelatihan etik lanjutan.
4. Manajemen Burnout dan Self-Care
Bila fenomena ini muncul karena burnout atau kelelahan, maka prioritas adalah:
Istirahat dari praktik klinis untuk sementara.
Mengatur ulang jadwal kerja.
Mendapat dukungan sosial dan aktivitas menyenangkan di luar dunia klinis.
Studi menunjukkan bahwa burnout meningkatkan sinisme, desensitisasi, dan penurunan empati, yang bisa memicu kecenderungan melihat pasien sebagai masalah belaka, bukan sebagai manusia.
5. Evaluasi Kepribadian Profesional
Bila psikiater/psikolog memiliki masalah kepribadian klinis (misal NPD, BPD, atau OCPD), maka mereka perlu mendapat:
Asesmen kepribadian profesional (MMPI, PAI, dll).
Penanganan profesional lanjutan.
Dalam kasus ekstrem, peninjauan kembali kelayakan praktik.
V. STRATEGI SISTEMIK & INSTITUSIONAL
Pencegahan dan penyembuhan juga harus melibatkan lembaga tempat profesional itu bekerja:
A. Kode Etik dan Audit Profesional
Asosiasi profesi seperti HIMPSI (di Indonesia) harus:
Aktif menegakkan kode etik.
Menyediakan jalur konseling etik bagi praktisi.
Mendorong pelatihan etik secara berkala.
B. Kebijakan Cuti Reflektif
Institusi perlu memberikan waktu cuti psikologis atau reflektif bagi profesional yang menunjukkan tanda-tanda:
Frustrasi tinggi
Pandangan sinis
Overpathologisasi atau judgemental berlebih
C. Supervisi Etik & Humanistik Berkelanjutan
Institusi wajib menyediakan:
Sesi refleksi etik bulanan.
Supervisi berbasis pendekatan humanistik dan empatik, bukan hanya teknis.
VI. PENUTUP
Fenomena psikiater atau psikolog yang melihat gangguan mental di setiap orang mencerminkan lebih dari sekadar kekeliruan profesional—tetapi bisa menandakan problem psikologis pribadi, krisis etika, atau burnout parah. Bila dibiarkan, ini tidak hanya membahayakan pasien, tapi juga mencederai profesi.
Pencegahan harus dilakukan melalui:
Pendidikan etik dan empati,
Supervisi klinis,
Refleksi dan pelatihan berkelanjutan.
Penyembuhan memerlukan:
Terapi profesional untuk terapis,
Reframing paradigma klinis,
Dukungan institusional dan manajemen burnout.
Sebagai penjaga kesehatan mental, psikiater dan psikolog harus terlebih dahulu menjaga kesehatan psikologis diri sendiri. Karena hanya dengan pemahaman utuh dan refleksi jujur terhadap diri, mereka bisa melihat orang lain bukan sebagai masalah, tetapi sebagai manusia yang juga berjuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar