Utusan PBB,
Pelapor Khusus Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume
Pelapor Khusus (Special Rapporteur) PBB untuk hak-hak masyarakat adat adalah Dr. Albert Kwokwo Barume, yang mulai menjalankan tugasnya sejak Januari 2025 setelah ditunjuk pada Desember 2024 .
Kunjungan informalnya ke Indonesia bertujuan mengumpulkan keterangan langsung dari masyarakat adat secara akademis, bukan sebagai penyelidikan resmi oleh pemerintah maupun PBB .
Kunjungan ke NTT dan Pendengaran Langsung Aspirasi Masyarakat Adat
Pada 7 Juli 2025, Barume mengunjungi Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) — berkendara selama sekitar 6 jam dari Labuan Bajo untuk mendengar langsung keluhan masyarakat adat terkait perampasan tanah dan proyek geotermal yang mereka tolak.
Dia ditemani perwakilan dari berbagai suku di Flores, Sumba, Timor, dan Lembata; lebih dari seratus perwakilan masyarakat adat diberi kesempatan menyampaikan cerita mereka secara langsung .
Kronologis Peristiwa :
Laporan Masyarakat Adat NTT
Informasi ini dilaporkan oleh Floresa.co pada tanggal 15 Juli 2025 mengenai laporan masyarakat adat NTT kepada Pelapor Khusus PBB.
Laporan yang disampaikan terutama terkait tuntutan penghentian proyek geotermal, pelanggaran hak atas tanah adat, dan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial proyek tersebut .
Poin Utama
Siapa utusannya?
Dr. Albert Kwokwo Barume, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Masyarakat Adat
Mengapa ke Labuan Bajo?
Untuk berkunjung ke Poco Leok (NTT), mendengarkan langsung aspirasi masyarakat adat
Apakah menerima laporan langsung dari warga?
Ya, dia melakukan dialog langsung dengan masyarakat adat NTT di Poco Leok
Tanggal laporannya?
Flores.co melaporkan kisah kunjungan ini pada 15 Juli 2025
Jadi, dapat disimpulkan bahwa utusan PBB yaitu Pelapor Khusus Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, memang melakukan kunjungan informal ke NTT dan menerima langsung laporan dari masyarakat adat di Poco Leok—yang wilayahnya dekat Labuan Bajo.
Berikut rangkuman sejarah pelanggaran hak warga di Labuan Bajo terkait penggusuran dan penahanan warga yang mempertahankan tanah warisan leluhur mereka:
1. Represivitas & Penggusuran
Penggusuran paksa di Kampung Rancang Buka (April 2022): puluhan aparat TNI-Polri dikerahkan guna membongkar kebun dan rumah warga atas nama pengembangan kawasan wisata premium oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP LBF), tanpa ada kompensasi yang jelas .
Pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), memicu dominasi pembangunan atas nama elit, menyisihkan masyarakat lokal, khususnya di daerah Golo Mori dan Bowosie .
2. Kriminalisasi Perlawanan
Saat warga dan pelaku pariwisata lokal menggelar aksi protes menolak tarif masuk taman nasional dan monopoli bisnis wisata, aparat melakukan pembubaran paksa, penembakan ke udara, penangkapan 42 orang, termasuk pemerintah desa dan Ketua Formapp Manggarai Barat .
Beberapa warga ditahan bahkan dengan dakwaan ringan seperti unggahan di media sosial .
3. Sengketa Tanah Warisan Leluhur
Kasus tanah seluas ±11 hektar di Keranga, Labuan Bajo: ahli waris almarhum Ibrahim Hanta—Muhamad Rudini dan Mikel Mensen—menghadapi penyerobotan lahan oleh PT Bumi Indah International (hotel St. Regis), sertifikat mereka dinyatakan batal oleh PN Manggarai Barat .
Tanpa dokumentasi resmi, pengusaha dan sindikat mafia tanah memanfaatkan kolusi dengan BPN setempat untuk mengambil alih lahan, meski pengadilan menyatakan peralihan tersebut ilegal .
Para ahli waris menyatakan kesediaan “undang maut” untuk mempertahankan tanah leluhur mereka .
4. Sorotan HAM & Global
Menjelang kunjungan Pelapor Khusus PBB (Juli 2025), semakin banyak laporan dari masyarakat adat NTT tentang pemiskinan, kriminalisasi, dan penggusuran atas nama proyek wisata dan korporasi .
Meskipun bukan langsung terkait, fenomena serupa di wilayah lain (seperti Mandalika) memperkuat gambaran umum bahwa pembangunan wisata sering melanggar HAM, termasuk penggusuran paksa tanpa ganti rugi .
Video ini menunjukkan aksi massa dan represivitas aparat di Labuan Bajo saat warga dan pelaku wisata melakukan demo menolak kebijakan tarif wisata dan monopoli bisnis.
Tanah warisan leluhur diambil alih secara sepihak melalui sertifikat batal demi hukum atau tanpa sertifikat, dipaksakan untuk diserahkan kepada investor.
Perlawanan warga sering direspon dengan kekerasan (fisik, intimidasi) dan kriminalisasi (penahanan dan dakwaan).
Penolakan kearah turisme premium dipandang sebagai tindakan penting mempertahankan hak atas tanah dan identitas budaya, namun sering dicegah paksa oleh aparat.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari berbagai lembaga HAM seperti PBB dan WALHI, mengecam pelanggaran yang sistemik dan struktural.
Source :
1. Siaran Pers WALHI & KNPA (5 Agustus 2022): "Hentikan Perampasan Tanah dan Represifitas… Labuan Bajo"
2. GlobeIndonesia (Desember 2024): "Pembangunan Wisata di Labuan Bajo Terhambat…" uraian konflik tanah 11 hektar dan kriminalisasi ahli waris
3. Floresa.co (15 Juli 2025): laporan masyarakat adat NTT kepada Pelapor Khusus PBB
4. Kompas.TV (YouTube, 3 tahun lalu): aksi protes lokal dan represinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar