Translate

Senin, 16 Januari 2017

ORANGTUA HELIKOPTER YANG MERUSAK MASA DEPAN ANAK

“Kamu hari ini ujian masuk SMA kan, Nak? Ini Mama sudah siapkan bekal makan siang kamu dan alat tulis lengkap di tas. Mama juga sudah telepon gurumu kalau-kalau jalan macet dan kamu datang agak telat. Ayo berangkat, Mama yang antar.”

“Bapak dengar dari tetangga katanya kamu bertengkar sama anaknya Bu Heni? Bapak mau ke rumah Bu Heni sekarang, mau Bapak tegur Bu Heni supaya lebih ngawasin anaknya. Enak aja ngajakin berantem anak orang.”

“Kamu kok belum telpon Ibu hari ini, Nak? Biasanya setiap hari kamu telpon, minimal kirim pesan. Kamu sedang apa? Sudah makan belum? Hari ini kuliahmu bagaimana? Main sama teman jangan lama-lama. Telpon Ibu segera ya.”

Merasa familiar dengan gaya percakapan di atas? Pernahkah Anda mendengar teman Anda sesama orangtua melakukan hal yang demikian? Ataukah Anda sendiri yang pernah melakukan hal-hal tersebut? Bisa jadi tanpa Anda sadari, Anda telah menjalankan pola pengasuhan overprotektif dan menjadi seorang orangtua helikopter.

Apakah itu pola pengasuhan helikopter?

Fenomena orangtua helikopter atau orangtua baling-baling muncul pertama ali dalam buku “Between Parent and Teenager” yang ditulis oleh Dr. Haim Ginott pada tahun 1969. Penggunaan kata ‘helikopter’ di sini sebagai kiasan untuk menggambarkan para orangtua yang terus melekat pada anaknya, ‘terbang rendah’ selalu berada di atas kepala anaknya seperti helikopter.

Di Amerika sendiri, pola pengasuhan helikopter lebih umum ditemukan di daerah-daerah urban atau perkotaan karena terdapat kecenderungan pola pengasuhan ini dilakukan oleh orangtua dari kalangan kelas menengah yang terdidik.

Sebuah artikel di Hufftington Post memuat penelitian ilmiah pada tahun 2012 yang menyimpulkan bahwa anak-anak dengan orangtua helikopter tidak terlalu antusias dalam belajar atau terlibat secara akademis saat kuliah. Penelitian terbaru di tahun 2015 dari Birgham Young University bahkan menyimpulkan bahwa anak-anak dari orangtua helikopter lebih rentan terhadap perilaku beresiko seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merokok, dan konsumsi alkohol berlebihan. Menurut penelitian tersebut, bahkan meskipun orangtua si anak mengasuhnya dengan kehangatan dan penuh kasih sayang, efek buruk dari pengasuhan ala helikopter akan tetap ada.

George Glass, MD dan David Tabatsky, psikiater senior dan spesialis parenting mengungkapkan bahwa pola pengasuhan helikopter membuat anak menjadi cenderung pada berkelakuan buruk serta pribadi pencemas, sombong dan narsistik yang tidak mampu menghadapi tantangan dalam hidup keseharian karena mereka tidak dibiarkan mengemban tanggung jawab secara baik atau menyelesaikan masalah mereka sendiri –selalu ada orangtua yang hadir dan menyelesaikannya untuk mereka.

APAKAH KITA ORANGTUA HELIKOPTER?

Menurut para ahli dari berbagai sumber, ciri-ciri dari orangtua helikopter antara lain adalah :

*Ketidakmampuan untuk melepaskan anak untuk mandiri*
Para orangtua helikopter merasa sangat kehilangan bila anak tidak berada di bawah pengawasan mereka langsung atau bila mereka tidak melihat anak mereka. Sebagian besar dari para orangtua helikopter juga kesulitan berkonsentrasi mengerjakan tugas lain bila anak mereka tengah bersekolah atau beraktivitas di luar. Mereka secara konstan memikirkan keadaan anak tidak mampu melepaskan diri secara emosional dan membiarkan anak mandiri.

*Memanjakan Anak secara Berlebihan*
Ketika orangtua ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya biasanya mereka menyediakan apapun yang anak butuhkan begitu saja.  Hal ini dapat berujung pada kecenderungan memanjakan anak secara berlebihan.

*Kerap Melobi Kemudahan untuk Anak*
Aalih-alih membiarkan anak belajar dari kesalahan, orangtua helikopter cenderung maju untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi si anak bahkan biarpun si anak sudah beranjak remaja. Mereka kerap menemui guru/atasan/figur otoritas lainnya untuk membela kepentingan anak mereka.

*Menjadi Satpam bagi Anak*
Tidak membiarkan anak terlibat dalam aktivitas-aktivitas tertentu, tidak membiarkan anak mencoba menyelesaikan masalah mereka sendiri sebelum turut campur, atau malah mengupayakan agar si anak untuk terhindar dari konflik apapun, adalah jelas-jelas merupakan pola pengasuhan helikopter.

*Selalu Ikut Campur Mengerjakan PR atau Tugas Anak*
Sesekali membantu anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka adalah hal yang bagus, tetapi berulang kali melakukannya atau orangtua malah mengerjakan tugas si anak adalah tanda-tanda kita tengah menerapkan pola pengasuhan helikopter.

*Takut Kuman yang Berlebihan*
Ketakutan yang berlebihan pada kuman atau Germaphobia adalah kecenderungan untuk menghindari kuman dan bakteri secara akut. Takut kuman berlebihan ini  berujung pada perilaku orangtua yang serba melarang anak untuk bermain dengan bebas karena terlalu khawatir si anak akan terkena kuman atau bakteri.

*Mengawasi Anak Kemanapun Ia Pergi*
Salah satu tanda pola pengasuhan helikopter adalah orangtua yang berusaha mengawasi dan mengontrol anaknya dengan berlebihan. Orangtua selalu ingin tahu dimanakah si anak baik melalui telepon atau mengamati secara langsung.

*Membebani Anak dengan Terlalu Banyak Kegiatan Ekstrakurikuler*
Orangtua helikopter seringkali membebani anak dengan kegiatan ekstrakurikuler yang berlebihan karena mereka ingin memastikan bahwa si anak mendapatkan sebanyak mungkin pengalaman. Seringkali tindakan ini dilatarbelakangi oleh keinginan orangtua untuk

*Memuji Anak secara Berlebihan*
Dengan alasan rasa sayang terhadap anak, orangtua helikopter berusaha agar anak tidak perlu merasakan kegagalan atau kekecewaan dalam keseharian mereka. Karena itulah orangtua helikopter sering menumpuk pujian demi pujian secara berlebihan pada anak.

Secara garis besar, gaya pengasuhan ala Helikopter mengikuti tiga pola utama mikro manajemen yaitu :

- Orangtua melakukan apa yang sudah bisa dilakukan sendiri oleh anak
- Orangtua melakukan apa yang hampir bisa dilakukan sendiri oleh anak (anak sudah tahu caranya dan sedang belajar mempraktekkannya)
- Orangtua menjalankan pola pengasuhan berdasarkan kebutuhan ego diri sendiri dan bukan kebutuhan anak

Seringkali kita sebagai orangtua merasa bahwa apa yang kita lakukan untuk anak bukanlah bentuk kontrol ketat tapi merupakan ungkapan rasa sayang dan cinta kita terhadap anak tersebut. Namun, ternyata pola pengasuhan helikopter yang berlebihan seperti dijabarkan di atas dapat membuat anak menjadi tidak percaya diri, manja, malas, dan malah cenderung pada perilaku beresiko. Jangan sampai ini terjadi pada anak kita ya, Mom and Dad.

Sumber tulisan :

Oleh: Zulfa Ruhama (Zulfairy) ; penulis buku-buku dan rubrik anak.

1. Confessions of a Helicopter Parent, Ellen Bottner and Richard Bottner
https://www.grinnell.edu/sites/default/files/documents/helicopter_0.pdf

2. Helicopter Parenting—It’s Worse Than You Think, Hara Estroff Marano
https://www.psychologytoday.com/blog/nation-wimps/201401/helicopter-parenting-its-worse-you-think

3. Extra Love Doesn’t Make Up For Negative Effects Of Helicopter Parenting, Study Finds, Carolyn Gregoire
http://www.huffingtonpost.com/2015/06/09/helicopter-parenting-negative-impact_n_7494932.html

4. Extra love and support doesn’t make up for being a helicopter parent, Joe Hadfield
https://news.byu.edu/news/extra-love-and-support-doesnt-make-being-helicopter-parent

5. The Overparenting Epidemic: Why Helicopter Parenting Is Bad for Your Kids . . . and Dangerous for You, Too!, George Glass, MD and David Tabatsky

Zulfa Ruhama (Zulfairy) adalah pemerhati dunia anak yang juga penulis buku anak. Ia telah menerbitkan belasan buku anak dan remaja serta turut berkolaborasi di berbagai program pemerintah guna mengembangkan kreativitas anak dan remaja. Kecintaannya pada dunia anak sempat membawanya terjun menjadi bagian dari redaksi majalah anak dan editor buku anak di sebuah BUMN. Ia berdomisili di Jakarta, web blog pribadinya dapat dikunjungi di
http://www.zulfairy.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar